PolHuKam

Eva Bande Kritisi Tuntutan PSU, Sebut Delegitimasi Pilkada 2024 Melemahkan Demokrasi

26
×

Eva Bande Kritisi Tuntutan PSU, Sebut Delegitimasi Pilkada 2024 Melemahkan Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Inisiator Samrat BERANI Sulteng, Eva Bande. Foto: Istimewa

POTRETCELEBES, Palu – Isu rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang kemudian dihubungkan dengan delegitimasi hasil pemilu dan tuntutan Pemilihan Suara Ulang (PSU) mendapat kritik keras dari Eva Bande, inisiator Samrat Berani. Eva menilai bahwa pernyataan-pernyataan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan justru berpotensi melemahkan demokrasi yang sedang diperbaiki di Indonesia.

Menurut Eva, pendapat yang mengatakan bahwa rendahnya partisipasi pemilih membuat hasil Pilkada 2024 tidak sah dan harus dilakukan PSU merupakan upaya menyangkal kenyataan politik yang ada.

Baca Juga: Hasil Rekapitulasi Pilkada Touna 2024, Pasangan IHLAS Menangkan Pilbup Touna

“Penggiringan opini publik seperti ini tidak punya alasan yang kuat, justru melemahkan demokrasi yang sedang kita perbaiki jalannya,” tegas Eva dalam keterangan pers yang diterima pada Kamis (5/12/2024).

Eva juga mengingatkan bahwa warga yang tidak hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya tidak bisa langsung disalahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menyebutkan bahwa tidak ada satu pun lembaga negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, yang dapat menjalankan tugasnya dengan sempurna.

“Kekurangan yang ada masih dapat ditoleransi dan harus dilihat sebagai bagian dari realitas politik atau fakta dalam berdemokrasi,” katanya.

Lebih lanjut, Eva menyoroti adanya progres signifikan dalam partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024. Jika dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya, terdapat peningkatan partisipasi yang cukup signifikan. Pada Pilkada 2015, tingkat partisipasi masyarakat tercatat 67 persen, kemudian naik menjadi 70,9 persen pada Pilkada 2020, dan pada Pilkada 2024, partisipasi meningkat lagi menjadi 72,6 persen.

Eva juga menekankan bahwa dalam Pilgub baru-baru ini, dominasi kekuatan politik dari partai besar, anggaran yang melimpah, serta tim sukses dan relawan yang banyak, tidak menjamin kemenangan.

“Kita tidak hanya harus fokus pada hasil, tetapi juga melihat proses yang dilalui, mulai dari perebutan partai politik, lahirnya MK, sosialisasi, kampanye, hingga hari pencoblosan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa apabila angka partisipasi dijadikan alasan untuk delegitimasi hasil Pilkada, hal itu tidak rasional. “Realitasnya, angka partisipasi justru menunjukkan tren yang positif, semakin meningkat,” jelasnya.

Eva juga menekankan bahwa jika ingin memperbaiki kualitas demokrasi, maka perlu mencari sumber masalah yang sebenarnya, bukan dengan solusi yang gegabah. “Jangan seperti pepatah lama, ‘membasmi tikus di lumbung padi dengan membakar lumbung padinya, bukan memberi racun pada tikusnya’,” katanya.

Eva mengingatkan bahwa memaksakan PSU tanpa dasar legitimasi yang kuat dapat berujung pada inkonstitusionalitas. “Jika dipaksakan dengan kekuatan massa, akan lebih buruk lagi dampaknya, berisiko menimbulkan ketidakstabilan sosial politik dan konflik antar pendukung,” ujarnya.

Eva mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki proses Pemilu dan Pilkada, bukan hanya terfokus pada pihak-pihak tertentu atau partai politik yang terlibat dalam kontestasi. “Kita sedang dalam fase transisi berdemokrasi dan perlu banyak perbaikan agar demokrasi kita semakin maju dan matang,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *