PolHuKam

Sahran Raden: Waspadai Potensi Oligarki Pasca Penghapusan Presidential Threshold

314
×

Sahran Raden: Waspadai Potensi Oligarki Pasca Penghapusan Presidential Threshold

Sebarkan artikel ini
Akademisi UIN Dato Karama Palu, Dr. Sahran Raden. Foto: potretcelebes.com

POTRETCELEBES, Palu – Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Dato Karama Palu, Dr. Sahran Raden, memberikan tanggapan positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas minimal pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Baca Juga: MK Hapus Presidential Threshold, Semua Parpol Bisa Usung Capres Sendiri

Menurut Dr. Sahran, yang juga mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah, keputusan MK ini merupakan langkah maju bagi demokrasi Indonesia.

“Saya mengapresiasi secara positif dan menyambut baik putusan MK ini. Ini adalah era baru demokrasi yang dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensial di Indonesia,” ujarnya kepada potretcelebes.com, Jumat (3/1/2025).

Putusan MK yang menghapuskan presidential threshold ini memungkinkan setiap partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi batasan persentase dukungan tertentu.

Menurutnya, hal ini memberikan kesempatan lebih luas bagi partai politik untuk berpartisipasi dalam proses pencalonan, yang dianggapnya sebagai langkah untuk membuka peluang partisipasi masyarakat yang lebih inklusif dalam pesta demokrasi.

“Pembatasan pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan pelanggaran terhadap moralitas demokrasi. Moralitas demokrasi menghendaki terbukanya peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, bukan hanya menjadi penonton dari pilihan yang sudah dikonsolidasikan di belakang meja,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dr. Sahran menyebutkan bahwa pembatasan tersebut telah menciptakan eksklusivitas dalam pencalonan dengan dalih penguatan sistem pemerintahan dan konsolidasi politik. Hal ini, menurutnya, telah mengalienasi pemilih dari proses demokrasi yang seharusnya bersifat terbuka dan inklusif.

Meski demikian, Dr. Sahran juga mengingatkan bahwa meski putusan MK ini membuka peluang lebih luas, terdapat potensi munculnya oligarki politik yang dominan.

“Boleh jadi, calon presiden yang muncul hanya satu jika ada pemborongan partai politik oleh calon tertentu. Ini yang perlu diwaspadai, agar demokrasi tetap berjalan sehat,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *