POTRETCELEBES, Palu – Polemik mengenai praktik bisnis di sektor perkebunan sawit skala besar kembali mencuat di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Kali ini, PT Tamaco Graha Krida (TGK) yang diduga terlibat dalam praktik bisnis ilegal dengan beroperasi meskipun izin Hak Guna Usaha (HGU)-nya telah habis pada Desember 2024.
Wakil Ketua II DPRD Provinsi Sulteng, Syarifudin Hafid, menegaskan pentingnya keseimbangan dalam pembangunan ekonomi dan infrastruktur dengan tetap menjaga hak-hak masyarakat.
“Pemerintah sejatinya memiliki tugas untuk memajukan daerah mencapai kesejahteraan dan melanjutkan pembangunan, namun dibalik itu tidak boleh kemudian mengesampingkan kepentingan masyarakat yang berhak mendapatkan kepastian untuk tidak tergusur dari tempat tinggalnya dan kehilangan ruang ekonominya,” ujar Syarifudin, dalam keterangan tertulis, Selasa (14/1/2025).
Tudingan ini pertama kali disuarakan oleh kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Front Rakyat Advokasi Sawit, yang dipimpin oleh aktivis Eva Bande. Eva menilai bahwa PT Tamaco masih beroperasi meskipun izin HGU-nya sudah berakhir, sehingga dinilai telah melanggar regulasi.
“Praktik seperti ini membuktikan ketidakpatuhan perusahaan terhadap regulasi. Jika aturan saja mereka abaikan, apalagi hak-hak rakyat,” tegas Eva Bande, dalam keterangan tertulis, (13/1/2025).
Menanggapi tudingan tersebut, Syarifudin Hafid yang juga merupakan perwakilan dari masyarakat Morowali, berencana memanggil pihak perusahaan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Morowali, Bupati Morowali, serta BPN Provinsi Sulteng untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut.
Ia juga menyarankan agar kelompok masyarakat sipil melengkapi data dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan terkait tudingan tersebut.
Selain itu, Syarifudin menekankan pentingnya perusahaan memastikan kepatuhannya terhadap regulasi yang ada, termasuk Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 Tahun 2015 terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pasal 42 Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa perusahaan perkebunan harus memiliki izin usaha perkebunan (IUP) dan hak atas tanah (HGU) sebagai syarat utama dalam menjalankan usahanya.
Putusan MK tersebut juga menghilangkan kata “atau” dalam pasal tersebut, menguatkan kewajiban perusahaan untuk memegang kedua izin tersebut.
Syarifudin juga mengingatkan agar BPN Morowali menjalankan tugasnya sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021. Panitia B dalam peraturan ini diberi wewenang untuk meneliti status tanah, riwayat tanah, dan hubungan hukum tanah tersebut, serta untuk memverifikasi keberatan masyarakat terkait status tanah yang dipermasalahkan.
Dalam hal perusahaan mengajukan perpanjangan izin atau pembaruan izin, Syarifudin mengingatkan bahwa hal ini harus mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 yang mewajibkan pemegang HGU untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, dengan porsi minimal 20 persen dari luas tanah yang diberikan hak guna usaha untuk perkebunan.
Polemik ini masih terus bergulir, Syarifudin berharap dapat segera menemukan titik terang yang berpihak pada kepentingan masyarakat serta kepatuhan terhadap aturan yang ada.