POTRETCELEBES, Morowali – Selama hampir belasan tahun, sepuluh desa di wilayah Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dikepung oleh aktivitas pertambangan.
Baca Juga: Pasha Ungu: Potensi Besar Sulteng Bisa Dikembangkan Lewat Sinergi Anak Daerah
Regulasi pemerintah daerah melalui Perda Morowali No. 7 Tahun 2019 menetapkan kawasan ini sebagai wilayah pertambangan, dengan janji meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun, realitasnya justru berbanding terbalik.
Hegemoni pemodal telah mendorong sebagian besar masyarakat menjual tanah mereka, mempercepat industrialisasi pertambangan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Morowali (P2MM Kota Palu), Albar menegaskan bahwa desa sebagai representasi negara di tingkat tapak memiliki peran krusial dalam menyikapi masalah ini.
“Perangkat desa harus terlibat langsung dalam pengelolaan dan pengawasan pembangunan,” tegasnya dalam rilis tertulis yang diterima potretcelebes.com, Sabtu (1/2/2025).
Aktivitas pertambangan yang masif telah memunculkan sederet masalah kompleks. Kerusakan lingkungan, penyerobotan lahan, serta dampak sosial dan budaya menjadi persoalan yang kian meresahkan. Meski industri tambang telah beroperasi lebih dari satu dekade, masyarakat Bungku Pesisir belum merasakan perubahan signifikan dalam kehidupan mereka.
Asrar, perwakilan Toko Pemuda Morowali, menyatakan bahwa industrialisasi tambang jauh dari ekspektasi.
“Alih-alih mendorong kesejahteraan, yang terjadi justru malapetaka. Banjir, polusi udara, dan kecelakaan kerja adalah masalah mendesak yang belum ditangani serius oleh pemerintah,” ujarnya.
Ia menambahkan, kehadiran perusahaan-perusahaan tambang seharusnya mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan. Namun, faktanya, banyak pemuda setempat yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akibat mahalnya biaya.
“Ini sangat anomali jika merujuk pada kampanye pemerintah yang menyebut industrialisasi di Morowali dapat meningkatkan ekonomi daerah,” tandas Asrar.
Situasi ini semakin memicu keprihatinan berbagai pihak. Albar mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersolidaritas menanggapi ketimpangan yang terjadi.
“Diam berarti membiarkan proses penindasan terus berlanjut,” tegasnya.
Upaya mencari solusi atas masalah yang timbul kini menjadi fokus perhatian. Namun, tanpa komitmen politik yang jelas dari pemerintah, ilusi kesejahteraan di lingkar tambang Bungku Pesisir mungkin hanya akan menjadi mimpi yang semakin jauh dari kenyataan.
Ikuti saluran potretcelebes.com di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VafG80nGOj9uDTqXci2e