POTRETCELEBES, Palu – Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad) Prof. Sulbadana menyoroti lambannya kemajuan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, meskipun sudah ada berbagai upaya hukum dan pembentukan lembaga anti-korupsi.
Baca Juga: Untad Sabet Juara Pertama dalam Lomba Debat Hukum Hari Bhayangkara
Hal ini ia ungkapkan saat menjadi narasumber dalam talk show memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang diselenggarakan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah, Senin (9/10/2024).
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Sulbadana menyampaikan, meskipun Indonesia telah memiliki berbagai regulasi terkait pemberantasan korupsi, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang sudah ada sejak tahun 1931, namun perkembangan yang terjadi sangat minim. Berdasarkan indeks persepsi korupsi (CPI) terakhir, Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara, dengan skor 34 poin. Padahal, pada tahun 2019, Indonesia sempat mencapai peringkat 85 dengan skor 40.
“Sejak tahun 2020 hingga 2023, meskipun ada upaya-upaya pemberantasan korupsi, situasi justru memburuk. Pada 2019, kita sempat berada di posisi yang lebih baik, namun kini kita melorot kembali. Ini menjadi pertanyaan besar, apa yang salah dengan upaya kita dalam memberantas korupsi?” ujar Prof. Sulbadana.
Baca Juga: Peringati HAKORDIA, Kejati Sulteng Ajak Mahasiswa dan Pers Bersinergi Cegah Korupsi
Lebih lanjut, Prof. Sulbadana mengapresiasi peran masyarakat, khususnya mahasiswa dan pers, yang telah berkontribusi besar dalam membuka praktik-praktik korupsi. Namun, ia mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan peran masyarakat dan media.
“Memang peran masyarakat dan pers sangat luar biasa, mereka sering kali menjadi pihak yang pertama kali mengungkapkan korupsi. Namun, pertanyaannya adalah, sampai kapan hal ini terus berlanjut? Kenapa korupsi masih terus merajalela di Indonesia?” tuturnya.
Prof. Sulbadana juga menyoroti perlunya reformasi dalam sistem politik dan hukum untuk mendukung pemberantasan korupsi yang lebih efektif. Menurutnya, korupsi yang terus terjadi harus dianalisis secara mendalam. Ia mencurigai bahwa pendekatan terhadap korupsi di Indonesia sering kali terjebak dalam pola yang tidak tepat, dimana korupsi dianggap sebagai masalah yang hanya terjadi di kalangan pejabat tinggi atau individu-individu tertentu.
“Korupsi bukan hanya masalah elit politik, tetapi masalah sistemik yang perlu ditangani dengan perubahan mendalam. Indonesia harus kembali pada ideologi yang mengedepankan kebersamaan dan kepentingan masyarakat luas, bukan ideologi liberal yang lebih menekankan pada kepentingan individu,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa, di tengah pemerintahan yang baru, perlu ada perubahan dalam cara pandang terhadap korupsi dan reformasi dalam struktur politik serta hukum yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.
“Korupsi yang terus-menerus ini tidak akan hilang jika kita tidak melakukan perubahan mendalam. Penting untuk mempertanyakan dan memikirkan kembali bagaimana kita memandang dan menangani korupsi dalam konteks kebersamaan bangsa Indonesia,” pungkasnya.(sr)