POTRETCELEBES, Morut – Bencana ekologis kembali terjadi di wilayah pertambangan nikel, kali ini banjir bandang melanda Dusun II Towi, Desa Tamainusi, Kecamatan Soyo Jaya, Morowali Utara, pada Jumat, 3 Januari 2024, sekitar pukul 17.45 WITA. Bencana ini mengakibatkan satu warga meninggal dunia, sementara dua lainnya berhasil dievakuasi dalam keadaan selamat.
Korban yang meninggal dunia dilaporkan sebagai seorang pekerja di PT Surya Amindo Perkasa, perusahaan yang mengelola kegiatan pertambangan nikel di kawasan tersebut. Kejadian ini memunculkan kekhawatiran terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan di wilayah tersebut, yang dinilai kurang mendapat pengawasan dari pihak berwenang.
Pendiri Ruang Setara (RASERA) Project yang juga merupakan pegiat lingkungan hidup di Sulawesi Tengah, Aulia Hakim, menyatakan bahwa bencana ekologis ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Ia menekankan bahwa peran pemerintah dalam mengeluarkan izin operasional dan melakukan monitoring terhadap perusahaan tambang sangat vital untuk mencegah kejadian serupa. Menurut Aulia, pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, seharusnya lebih aktif dalam melakukan evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor pertambangan.
“Keputusan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti ESDM, Lingkungan Hidup, Kehutanan, serta pemerintah provinsi dan kabupaten, seharusnya dilengkapi dengan mekanisme monitoring yang ketat. Tanpa itu, bencana ekologis seperti ini hanya akan terus berulang,” tegas Aulia Hakim.
Surya Amindo Perkasa, yang diketahui mengantongi izin operasi produksi, tercatat dalam daftar perusahaan yang memiliki izin yang telah dicabut oleh pihak pemerintah. Dalam Surat Kementerian ESDM Nomor: 1115.Pm/04/DJB/2016, izin operasi produksi perusahaan ini dengan nomor izin 540.3/SK.005/DESDM/III/2010 dicabut pada tahun 2015. Meskipun demikian, perusahaan ini terus melakukan aktivitas penambangan di wilayah tersebut, menambah daftar panjang pelanggaran yang teridentifikasi oleh Aulia Hakim.
Pada November 2024, Surya Amindo Perkasa juga dikenakan sanksi administratif oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) terkait kegiatan operasional yang tidak dilengkapi dengan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan Perizinan Berusaha. Akibatnya, perusahaan tersebut disegel dari aktivitas reklamasi hingga memenuhi kewajibannya.
“Saya pikir sudah saatnya pemerintah lebih proaktif dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor pertambangan, terutama di Morowali. Dampak yang ditimbulkan sangat besar, baik bagi pekerja maupun masyarakat lokal, yang harus menanggung segala risikonya, termasuk kehilangan nyawa seperti yang terjadi saat ini,” lanjut Aulia.
Selain PT Surya Amindo Perkasa, terdapat tiga perusahaan lain yang juga beroperasi di wilayah tersebut, yakni PT KITAMI, PT Palu Baruga Yaku, dan PT Usaha Kita Kinerjatama (UKK). PT Palu Baruga Yaku, misalnya, baru-baru ini menerima Surat Pengenaan Sanksi Administratif Peringatan Pertama terkait kewajiban reklamasi yang tidak dipenuhi, sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No 26 Tahun 2018.
Sementara itu, PT Usaha Kita Kinerjatama (UKK) mengantongi izin pertambangan dengan nomor SK 1107/1/IUP/PMDN/2022, yang memberikan izin pembukaan lahan seluas 1.209 hektar. Namun, perusahaan ini juga beroperasi di wilayah Hutan Produksi Terbatas, yang melanggar arahan pemanfaatan hutan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi.
Aulia Hakim menegaskan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor nikel di Sulawesi Tengah, khususnya di Morowali.
“Pemerintah daerah, provinsi, serta legislatif harus segera bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan dan tidak mematuhi aturan yang ada,” ujarnya.