POTRETCELEBES, Palu – Pegiat lingkungan hidup di Sulawesi Tengah (Sulteng) menilai bencana ekologis berupa banjir bandang dan longsor yang terjadi di wilayah industri pertambangan, sebagai peringatan keras bagi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten.
Baca Juga: Shin Tae Yong Diberhentikan PSSI, Pelatih Baru Timnas Indonesia Akan Diumumkan 12 Januari
Hal ini dikemukakan oleh Aulia Hakim, pegiat lingkungan hidup sekaligus pendiri Ruang Setara (Rasera) Project, yang menyoroti dampak bencana di beberapa wilayah pertambangan di Sulteng.
Aulia menjelaskan bahwa banjir yang terjadi di Desa Towi, Morowali Utara pada 5 Januari 2025, serta di Desa Labota, Morowali pada 29 Desember 2024, menunjukkan perlunya perbaikan dalam pola tata ruang, ekspansi izin tambang, dan pembukaan lahan serta hutan di wilayah tersebut.
Hal ini semakin mendesak mengingat prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Mutiara Sis Aljufri Palu yang memprakirakan curah hujan tinggi di Sulteng akan berlangsung hingga Maret 2025.
“Peristiwa bencana ekologis yang terjadi belakangan ini seharusnya sudah memicu tindakan dari pemerintah. Ini terkait dengan nasib para pekerja, banyak di antaranya adalah warga setempat yang bermukim di sekitar wilayah industri. Ekonomi, hunian, dan jaminan keselamatan mereka harus menjadi perhatian serius pemerintah. Hal ini tidak boleh dianggap sepele,” ujar Aulia.
Aulia juga menekankan pentingnya upaya pemerintah dalam menanggulangi banjir dan memastikan keselamatan warga yang terdampak, terutama pekerja di industri tambang. Ia menyoroti kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan lanjut usia yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam hal keselamatan dan kesehatan di tengah bencana ini.
Selain Morowali dan Morowali Utara, BMKG juga mengingatkan bahwa intensitas hujan yang tinggi akan terjadi di kabupaten/kota lainnya, seperti Banggai, Poso, Kota Palu, dan Buol. Hal ini semakin mempertegas perlunya evaluasi terhadap kebijakan pemerintah dalam pengelolaan ruang wilayah dan kawasan kabupaten.
“Bencana ekologis yang terjadi tidak terlepas dari proses penyesuaian ruang yang digodok oleh pemerintah. Belum lagi ekspansi pembukaan lahan untuk industri pertambangan yang masif, menjadikan bencana-bencana ini tidak datang dengan sendirinya. Negara seharusnya bertanggung jawab, bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata,” tegas Aulia.
Aulia Hakim pun mendesak pemerintah untuk segera melakukan mitigasi yang efektif dan bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan bagi para korban bencana. Tanggung jawab negara dalam melindungi keselamatan warganya harus menjadi prioritas utama.